FAKTA MALUKU – Di balik tepuk tangan panjang dan senyum lebar yang tampak tulus, tersembunyi luka lama yang tak kunjung sembuh. Mereka datang, duduk paling depan, berfoto bersama, ikut memuji, menyelipkan doa-doa manis yang terdengar ikhlas. Namun di dalam hatinya, api cemburu terus membakar. Mereka bukan simpatisan. Mereka pasukan sakit hati.
Inilah sekelompok manusia yang dulu merasa paling berjasa, paling setia, paling layak namun kenyataan tidak berpihak. Kekuasaan atau pengaruh yang mereka harapkan jatuh ke tangan orang lain. Sejak itu, mereka hidup dalam dilema antara ingin melawan dan terpaksa merangkul.
“Berbuat baik, tapi dengan gigi menggertak. Membantu, tapi berharap gagal. Memuji, tapi dengan nada sinis.” Begitulah kata seorang pejabat muda yang pernah jadi korban manuver para pembenci bermuka dua ini.
Mereka Ada di Mana-Mana
Mereka bisa jadi rekan kerja. Bisa juga kawan lama yang dulu setia dalam perjuangan. Tapi begitu kalah, wajahnya berubah. Tak jarang pula, mereka mendekat kembali dengan wajah baru: penuh senyum, penuh saran, penuh “kepedulian” namun dalam tiap langkahnya terselip bisik-bisik merusak dari belakang.
Di ruang publik, mereka menjadi komentator dadakan. Di grup WhatsApp, mereka seperti juru bicara kaum kecewa. Mereka tidak frontal, karena terlalu takut untuk melawan terang-terangan. Tapi mereka lihai bermain kata, menyusup dalam setiap obrolan, membentuk opini-opini licik dan menggiring persepsi.
Yang paling menyedihkan? Mereka kerap melupakan harga diri. Demi peluang yang sempit, demi pengakuan sementara, mereka rela menjilat kaki pemenang yang dulu mereka maki. Ini bukan sekadar tentang loyalitas yang berubah, tapi integritas yang gugur.
Ironisnya, ketika ditanya mengapa berubah sikap, mereka dengan santai menjawab, “Saya tidak ingin terjebak dalam pertarungan politik yang tidak dewasa.” Padahal publik tahu, itu bukan sikap bijak, melainkan kedok untuk menyamarkan keinginan menjilat dan mengambil posisi nyaman di sisi kekuasaan. Dalih moralitas digunakan sebagai tameng, padahal motif utamanya adalah oportunisme murni.
Mereka Tak Pernah Puas
Pasukan sakit hati tidak ingin keadilan mereka ingin pembalasan. Mereka tidak mencari solusi mereka ingin semua orang gagal agar luka mereka terasa lebih adil. Mereka bersorak bukan karena sesuatu berhasil, tapi karena ada yang tergelincir.
Dan ironinya, mereka kerap tampil seperti pahlawan dalam bayang-bayang. Mengaku sebagai penyeimbang, padahal hanya iri tak tersalurkan. Mengaku kritis, padahal hanya nyinyir yang tak produktif.
“Kadang saya bingung,” ujar BW “mereka yang dulu membenci saya, sekarang datang memberi pujian. Tapi saya tahu, pujian itu punya durasi. Begitu mereka tak dapat apa-apa, mereka akan kembali jadi bayangan yang siap menikam.”
Tentu tidak semua kritik lahir dari kebencian. Tidak semua yang kecewa lantas berniat jahat. Tapi ketika kritik berubah jadi kampanye diam-diam untuk menjatuhkan, ketika kecewa menjadi modal utama untuk pura-pura peduli, maka yang terjadi bukan pembenahan, melainkan pengkhianatan terhadap etika dan nurani.
Kita semua, dalam kadar yang berbeda, mungkin pernah menjadi bagian dari “pasukan” ini terluka, merasa tidak dihargai, ingin mengungkapkan kecewa. Tapi memilih wajah ganda, menjilat sambil menusuk, bukan jalan yang bijak. Dunia memang tak selalu adil, tapi kita tak harus menggadaikan martabat demi tempat di sisi pemenang.(NS)