Fakta Maluku, Ambon – Perseteruan lama soal tanah adat Dati Tatarasari di Negeri Hative Kecil kembali meledak. Johannis Matheis Tentua, pewaris sah tanah tersebut, resmi menggugat Muhamad Saleh Assel dan Pemerintah Negeri Hative Kecil ke Pengadilan Negeri Ambon, Selasa (29/4/2025).
Gugatan itu diajukan dengan tuduhan perbuatan melawan hukum, penggunaan dokumen palsu, serta pengabaian terhadap tiga putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
“Ini bukan perkara kecil. Ini bentuk pembajakan hak adat lewat rekayasa dokumen,” tegas kuasa hukum penggugat, Yohanis Laritmas, S.H., M.H., di Ambon.
Tanah adat Dati Tatarasari, yang dikenal sebagai Batubuaya Sayobang, telah dimenangkan oleh keluarga Tentua dalam:
– Putusan PN Ambon No. 329/1979/Perd.G/PN.AB
– Putusan PT Maluku No. 44/1982/Perd./PT.Mal
– Putusan MA No. 1905 K/Sip/1983
Namun pada 1985, muncul klaim tandingan dari almarhum Abdurahim Assel yang menang lewat putusan PN Ambon No. 167/Perd.G/1985/PN.AB. Belakangan diketahui, klaim tersebut dibangun di atas dokumen palsu, sebagaimana dibuktikan dalam perkara pidana PN Ambon No. 03/Pid.B/1997/PN.AB.
“Putusan pidana itu membuktikan bahwa Assel menang di atas kebohongan. Maka semua tindakan turunannya otomatis cacat hukum,” kata Laritmas.
Puncaknya terjadi tahun 2023, saat Muhamad Saleh Assel menyerahkan tanah adat itu ke Pemerintah Negeri Hative Kecil. Penyerahan dilakukan tanpa melibatkan keluarga Tentua yang sah secara hukum dan adat.
Bagi Johannis Tentua, peristiwa itu adalah bentuk pengusiran terselubung. “Kami dianggap tak punya hak atas tanah kami sendiri. Hanya karena ada yang manipulasi dokumen, lalu kami didepak begitu saja,” ujarnya.
Ia mengaku, keluarganya sudah lama menanggung beban stigma dan cibiran masyarakat akibat narasi sesat yang menyudutkan mereka.
Pemerintah Negeri Hative Kecil ikut digugat karena dinilai abai dan membiarkan persoalan hukum ini berlarut-larut.
“Pemerintah menerima tanah dari pihak yang sudah divonis pakai dokumen palsu. Ini bukan ketidaktahuan. Ini pembiaran. Bahkan bisa disebut kolusi,” tandas Laritmas.
Kasus ini kini jadi sorotan pegiat hukum adat di Maluku. Banyak yang menilai, jika pemerintah saja bisa tunduk pada dokumen palsu, maka masa depan tanah-tanah adat di Maluku dalam ancaman.(NS)