Fakta Maluku, Malteng – Tragedi hilangnya Firdaus Ahmad Fauzi, pendaki asal Bogor, Jawa Barat, yang ditemukan meninggal dunia setelah 21 hari pencarian di kawasan Gunung Binaiya, Maluku, memantik gelombang kritik keras terhadap pengelolaan kawasan konservasi tersebut. Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPC GMNI) Ambon menyatakan sikap tegas menuntut pencopotan Kepala Balai Taman Nasional Manusela.
Ketua DPC GMNI Ambon, Nasir Mahu, menilai tragedi Firdaus bukan sekadar musibah alam, tetapi cermin kelalaian struktural dan kegagalan sistemik dalam manajemen tanggap darurat di kawasan konservasi yang semestinya dijaga dengan profesionalisme tinggi.
“Kami kecewa dan marah. Ini bukan hanya tentang satu nyawa, tapi tentang rusaknya sistem dan mentalitas pejabat yang abai. Pihak Balai tidak hanya lamban, tapi nyaris tak terlihat selama proses pencarian. Di mana tanggung jawab moral mereka?” tegas Nasir dalam pernyataan resminya kepada media ini, Senin (19/5/2025).
Firdaus dinyatakan hilang pada 27 April 2025 saat mendaki Gunung Binaiya, puncak tertinggi di Maluku yang berada dalam kawasan Taman Nasional Manusela. Pencariannya melibatkan relawan lokal, pendaki muda Maluku, serta beberapa unsur SAR. Namun publik mencatat minimnya partisipasi aktif dari pihak Balai Taman Nasional, bahkan nyaris tanpa koordinasi yang terbuka.
Menurut GMNI Ambon, situasi ini mencerminkan lemahnya sistem komunikasi, buruknya SOP keselamatan pendakian, dan nihilnya kepedulian terhadap nasib pengunjung yang nyawanya bergantung pada kesiapan pengelola.
GMNI Ambon menyampaikan empat poin tuntutan utama kepada pemerintah pusat dan daerah:
1. Pencopotan Kepala Balai Taman Nasional Manusela karena dinilai lalai dan gagal dalam penanganan darurat.
2. Evaluasi total terhadap sistem keselamatan dan SOP pendakian di kawasan Taman Nasional Manusela.
3. Permintaan maaf terbuka kepada keluarga korban dan publik.
4. Pembentukan tim independen untuk investigasi menyeluruh atas tragedi ini dan penanganannya.
“Balai Taman Nasional seharusnya menjadi garda terdepan keselamatan, bukan menjadi institusi yang menutup diri dan melempar tanggung jawab. Saat masyarakat berjuang dengan moral dan kemanusiaan, pejabat malah diam di ruang nyaman,” kritik Nasir.
Dalam situasi darurat, peran relawan menjadi penentu. Pendaki muda Maluku, tim SAR, dan masyarakat sekitar bersatu tanpa pamrih dalam upaya pencarian. GMNI menyebut mereka sebagai simbol harapan di tengah kebuntuan institusional.
“Moral dan kemanusiaan mereka sukses melecehkan semua omong kosong pejabat yang hatinya bahkan lebih busuk dari apa yang keluar dari bawah perut mereka,” tulis GMNI dalam pernyataannya.
Tragedi Firdaus menjadi pukulan keras bagi citra pengelolaan taman nasional di Indonesia, khususnya di wilayah timur yang seringkali luput dari perhatian media nasional. GMNI Ambon menyerukan agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI serta Gubernur Maluku segera mengambil langkah tegas dan tidak membiarkan kasus ini tenggelam dalam birokrasi dan waktu.
“Jika tidak ada tindakan nyata, maka tragedi serupa bukan hanya mungkin terjadi, tapi pasti akan terulang,” tutup Nasir.
Firdaus, yang berangkat dengan semangat menjelajah keindahan alam Maluku, kini pulang dalam diam. Namun kepergiannya menyisakan pertanyaan besar berapa nyawa lagi yang harus menjadi korban sebelum sistem ini berubah. (NS)