Oleh : EDWARD. N SANAMASSE.
Fakta Maluku – Di berbagai daerah di Indonesia, minuman beralkohol tradisional seperti Cap Tikus di Sulawesi Utara dan Sopi di Nusa Tenggara Timur (NTT) serta Maluku memiliki sejarah panjang dalam kehidupan masyarakat. Minuman ini bukan sekadar konsumsi biasa, tetapi telah menjadi bagian dari adat istiadat, simbol persaudaraan, hingga mata pencaharian utama bagi sebagian warga. Namun, upaya pemerintah dalam mengatur dan melegalkan produksi serta distribusinya menghadapi berbagai tantangan, terutama dari sisi ekonomi, hukum, dan budaya.
Saat ini, di Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku, muncul gerakan dari masyarakat dan tokoh adat yang ingin melegalkan produksi dan peredaran Sopi, minuman beralkohol khas Maluku dan NTT. Upaya ini mendapat dukungan karena dianggap bisa meningkatkan ekonomi lokal. Namun, seperti halnya regulasi Cap Tikus di Sulawesi Utara dan NTT, ada sejumlah pro dan kontra yang mengiringi perdebatan ini.
Di NTT, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Gubernur NTT Nomor 44 Tahun 2019 yang mengatur tentang pemurnian dan tata kelola minuman tradisional beralkohol. Peraturan ini bertujuan untuk:
1. Melegalkan produksi minuman tradisional dengan standar tertentu
2. Melindungi konsumen dari minuman oplosan berbahaya
3. Membantu petani nira dan produsen lokal mendapatkan keuntungan lebih besar
4. Menambah pendapatan daerah melalui pajak dan retribusi
Namun, regulasi ini juga membawa tantangan bagi para produsen kecil. Mereka harus melewati proses perizinan yang kompleks dan meningkatkan kualitas produk sesuai standar BPOM, yang tidak semua produsen mampu lakukan. Akibatnya, banyak usaha kecil justru sulit berkembang dan terancam oleh industri besar yang lebih mudah memenuhi regulasi.
Di sisi lain, di Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku, desakan untuk melegalkan Sopi semakin menguat. Seperti Cap Tikus dan Moke, Sopi telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Tanimbar. Minuman ini digunakan dalam berbagai acara adat, dari pernikahan hingga ritual keagamaan.
Sejumlah tokoh adat dan masyarakat Tanimbar berpendapat bahwa pelarangan Sopi tanpa solusi konkret justru menciptakan pasar gelap yang lebih berbahaya. Mereka ingin adanya regulasi yang tidak hanya melarang, tetapi juga mengakomodasi produksi Sopi secara legal dan higienis, seperti yang telah dilakukan terhadap Cap Tikus di Sulawesi Utara dan Moke di NTT.
Jika melihat contoh sukses Cap Tikus di Sulawesi Utara yang kini sudah memiliki izin edar dan bahkan diekspor ke luar negeri, maka legalisasi Sopi di Maluku bisa menjadi peluang besar bagi masyarakat. Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
Pemerintah harus memberikan pendampingan kepada produsen lokal agar bisa memenuhi standar keamanan pangan dan menghindari produk yang berbahaya bagi kesehatan.
Regulasi harus memberi ruang bagi pengrajin kecil untuk tetap eksis dan bersaing dengan industri besar. Jika tidak, hanya perusahaan besar yang bisa bertahan, sementara produsen lokal semakin tersingkir.
Pemerintah perlu menyederhanakan proses perizinan dan membantu petani serta produsen kecil dalam mengembangkan usahanya.
Legalitas harus diimbangi dengan pengawasan ketat agar minuman ini tidak disalahgunakan, terutama di kalangan remaja dan masyarakat umum.
Baik di NTT dengan regulasi Moke dan Cap Tikus, maupun di Maluku dengan desakan legalisasi Sopi, perdebatan tentang minuman tradisional beralkohol selalu melibatkan aspek ekonomi, budaya, dan hukum. Jika pemerintah bisa membuat regulasi yang adil dan berpihak pada masyarakat kecil, maka minuman ini bukan hanya bisa menjadi kebanggaan lokal, tetapi juga memberikan manfaat ekonomi yang besar bagi daerah.
Lalu, apakah legalisasi Sopi di Kepulauan Tanimbar akan mengikuti jejak sukses Cap Tikus di Sulawesi Utara? Atau justru menghadapi kendala yang lebih besar? Waktu yang akan menjawab.
Dari persoalan legalitas minuman tradisional seperti Sopi di Kepulauan Tanimbar serta Cap Tikus dan Moke di NTT, diperlukan campur tangan berbagai pihak agar regulasi yang dibuat tidak hanya menguntungkan industri besar, tetapi juga memberdayakan produsen kecil dan menjaga nilai budaya masyarakat. Berikut beberapa pihak yang seharusnya terlibat:
1. Pemerintah Daerah (Pemda) & DPRD
Membuat regulasi yang berpihak pada masyarakat dengan tetap memperhatikan aspek kesehatan, ekonomi, dan budaya.
Menyederhanakan proses perizinan agar produsen kecil bisa mendapatkan legalitas tanpa birokrasi yang rumit.
Membantu distribusi dan pemasaran agar minuman tradisional bisa bersaing di pasar nasional dan internasional.
2. Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag)
Membantu produsen kecil dalam standarisasi produk agar memenuhi persyaratan legal dan aman dikonsumsi.
Menyediakan pelatihan dan pendampingan usaha bagi masyarakat yang bergantung pada produksi Sopi dan Cap Tikus.
Mendorong kemitraan dengan UMKM dan koperasi lokal agar usaha minuman tradisional berkembang.
3. Dinas Kesehatan & BPOM
Menentukan standar keamanan pangan dan kandungan alkohol agar tidak membahayakan konsumen.
Melakukan pengawasan terhadap peredaran minuman yang belum terstandarisasi.
Edukasi kepada masyarakat terkait risiko konsumsi berlebihan dan dampaknya terhadap kesehatan.
4. Bea Cukai & Kementerian Keuangan
Memberikan regulasi pajak dan cukai yang tidak memberatkan produsen kecil.
Membantu dalam proses legalisasi dan ekspor bagi produk yang berpotensi menembus pasar luar negeri.
5. Tokoh Adat dan Masyarakat Lokal
Berperan dalam negosiasi dengan pemerintah untuk memastikan regulasi tetap menghormati adat dan budaya.
Menjadi pengawas sosial agar produksi dan konsumsi minuman tradisional tetap dalam batas wajar dan tidak merugikan masyarakat.
Mendorong model koperasi atau usaha bersama agar produsen kecil tidak tersingkir oleh industri besar.
6. Akademisi dan Peneliti
Mengkaji dampak ekonomi, sosial, dan kesehatan dari legalisasi minuman tradisional.
Memberikan rekomendasi kepada pemerintah berdasarkan data dan riset ilmiah.
7. Pelaku Usaha & UMKM
Beradaptasi dengan regulasi yang ada untuk tetap bisa berproduksi secara legal.
Mengembangkan inovasi produk agar lebih berkualitas, higienis, dan berdaya saing.
Berkolaborasi dengan pemerintah dan investor untuk mengembangkan industri ini secara berkelanjutan.
Legalitas minuman tradisional seperti Sopi, Cap Tikus, dan Moke memerlukan pendekatan yang seimbang antara regulasi pemerintah, kearifan lokal, serta keberlanjutan ekonomi. Jika semua pihak berperan aktif, bukan tidak mungkin minuman tradisional ini bisa diakui secara resmi tanpa menghilangkan nilai budaya dan ekonomi masyarakat.(Red)