Oleh: Alteredik Sabandar, ST
Kabid II: Perencanaan dan Keuangan, BPD HIPMI Maluku
Fakta Maluku – Ketika dunia masih terpukau oleh gaya flamboyan Donald Trump, satu hal yang patut dicermati bukan soal rambut pirangnya yang legendaris, tapi kebijakannya yang mengguncang ekonomi global: Tarif Trump. Lewat tarif impor yang dinaikkan drastis, Trump mencoba menutup defisit anggaran Amerika Serikat.
Terdengar kontroversial? Tentu. Tapi justru di sinilah letak kejeniusan strateginya-membalik ketergantungan dunia terhadap Amerika menjadi alat tawar politik dan ekonomi.
Trump tahu satu hal yang mungkin kita sering lupakan: siapa yang punya pasar, dia punya kuasa.
Lalu, apa hubungannya dengan Indonesia, terutama daerah-daerah yang sedang megap-megap menghadapi defisit anggaran? Jawabannya: banyak. Kita bisa belajar dari pendekatan Trump bukan untuk meniru semua polanya secara mentah, tetapi memodifikasi semangatnya: berani membuat kebijakan tidak populer demi menyelamatkan masa depan ekonomi daerah.
Mari kita realistis. Banyak daerah otonom di Indonesia yang masih bergantung pada dana transfer pusat. PAD (Pendapatan Asli Daerah) tidak sebanding dengan beban belanja. Namun di sisi lain, ada daerah-daerah yang justru diuntungkan dari transaksi dagang dan proyek-proyek yang masuk tanpa memberi kontribusi nyata terhadap ekonomi lokal.
Saatnya kepala daerah berpikir seperti pemimpin dagang, bukan hanya birokrat anggaran. Bagaimana caranya?
1. Dorong Produk Lokal Jadi Primadona
Setiap daerah punya produk unggulanrempah, hasil laut, kopi, kain, dan lainnya. Tapi sayangnya, banyak yang belum punya daya saing, apalagi pasar. Kepala daerah harus mengubah ini. Bangun kemitraan antardaerah, siapkan data kebutuhan pasar, dan perkuat kualitas serta kuantitas produk. Jangan hanya bangga punya cengkeh, pala, atau ikan, tapi tidak tahu ke mana menjualnya.
2. Pengusaha Lokal Jangan Cuma Jadi Penonton
Setiap tahun miliaran rupiah proyek APBN dan BUMN masuk ke daerah. Tapi siapa yang menikmati? Bukan pengusaha lokal. Padahal, aturan pengadaan barang dan jasa memberi ruang untuk mereka. Kepala daerah perlu turun tangan. Jangan ragu bikin aturan turunan yang mewajibkan keterlibatan pengusaha lokal dalam bentuk KSO atau kemitraan.
Begitu juga dengan ritel modern. Jangan cuma izinkan mereka buka gerai, tapi wajibkan kerja sama dengan koperasi atau bumdes. Bahkan jika perlu, ada share ownership di setiap toko.
3. Bangun Jaringan Dagang Antardaerah
Ekonomi tidak berkembang dalam ruang hampa. Kerja sama antardaerah adalah keharusan. Produk unggulan harus mencari pasar, dan pasar harus dipastikan tersedia. Bukan hanya barang, tapi juga tenaga kerja. Kirim nelayan kita ke daerah yang butuh, kirim hasil bumi kita ke kota yang kekurangan. Kerja sama semacam ini jauh lebih konkret dampaknya daripada sekadar menunggu bantuan pusat.
Pada akhirnya, defisit anggaran bukan cuma soal angka. Ini soal keberanian mengambil keputusan, soal kreativitas melihat potensi, dan soal tekad membangun daerah dengan kaki sendiri. Bila Trump saja bisa mengguncang dunia dengan kebijakan tarif impornya, kenapa kepala daerah kita tidak bisa mengguncang daerahnya sendiri dengan kebijakan ekonomi lokal yang progresif?
Defisit tidak harus jadi kutukan abadi. Dengan strategi yang tepat, ia bisa jadi loncatan menuju kemandirian ekonomi.(NS)